06 Februari 2011

INFILTRASI NEO LIBERALISME DALAM PEMBERANGUSAN PASAR TRADISIONAL

OLEH : RIFQI K. ANAM

Latar Permasalahan
Paradigma modernisasi yang selalu diusung pemerintahan negara-negara berkembang sudah masuk pada semua bidang kehidupan. Termasuk dalam perencanaan dan manajemen kota telah ditentukan paradigma yang mencontoh pengalaman keberhasilan negara barat ini. Jo Santoso menyatakan bahwa sesungguhnya modernisasi adalah penjelmaan praktek neo-liberalisme (Jo Santoso, 2006 : 52). Ada dua hal yang bisa menunjukkan ini.
Pertama, Keberhasilan pembangunan selalu dilihat dan diukur dalam kaitan capaian-capaian material. Pembangunan kota dinyatakan berhasil selalu dengan tolak ukur indikator-indikator fisik. Kemudian, sesuatu yang tidak terstandar dan penuh keunikan dianggap sebagai ”menghambat”. Tidak heran jika praktek-praktek lokal selalu dipandang sinis dengan stigma tradisional. Kemudian, tradisionalitas selalu dituduh sebagai kekumuhan, jorok dan sarang kriminalitas kota. Kekayaan lokal ini akan diberangun pemerintah demi mencapai ”khayalan” kondisi material yang berkelimpahan ini (high mass consumption).
Kedua, terlalu besarnya ikut campur pihak swasta dalam perencanaan kota.Pemerintah tidak lebih sebagai pelayan pihak-pihak yang menginginkan apapun demi kemajuan usahanya mereka. Sementara itu, pemerintah juga tidak lebih pembantu yang kadang-kadang juga berperan sebagai satpam yang menengahi persoalan dengan warga kota. Pemerintah bukan lagi sebagai agent of development, sebab tindakannya lebih kearah teknis yang tidak ada hubungannya baik dengan rekayasa sosial maupun pemberdayaan (empowering).
Dalam konteks seperti ini, kota-kota bukan lagi dirancang oleh pemerintah.Tetapi, lebih kepada pemenuhan kebutuhan ”raja-raja” investor itu. Amat sulit untuk membedakan, apakah yang muncul dilapangan benar-benar implementasi keteguhan paradigma pembangunan atau hanya kepentingan segelintir elit kota?

Pemberangusan Pasar Tradisional
Penerapan paradigma neoliberalisme maupun kepentingan elit perencana kota ini bukan tidak mengandung resiko. Karena ia memunculkan persoalan-persoalan ikutan. Salah satu yang masih menarik dan selalu aktual yakni penataan pasar tradisional. Pemerintah (biasanya bekerja sama dengan investor) memaksakan konsep pasar modern. Baik dari segi bangunan sampai manajemen distribusi barang dan jasa. Dalam hitungan keuntungan material, pasar modern jewlas menjanjikan banyak keuntungan yang sangat mungkin diprediksi. Karenanya selalu membangun hegemoni bahwa hal-hal yang terkait tradisional selalu dianggap tidak sesuai. Maka perencana dan pemerintah kota selalu menggaung-gaungkan tentang perlunya ”peremajaan pasar” pada semua pasar di kota-kota mereka. Dengan janji yang muluk-muluk, pemerintah menyatakan pembangunan pasar modern untuk peningkatan kesejahteraan pedagang.

Dalam banyak kasus, selalu saja pedagang menolak. Baik perwakilan pedagang maupun pemerintah, sulit menemukan titik temu pandangan. Mereka bersikukuh dengan pandangan masing-masing dengan dorongan rasionalitas masing-masing serta pertimbangan keberdayaan sewa. Pedagang trdisional mewakili rasionalitas budaya informal yang tidak familiar dari aturan birokratis yang seragam. Sementara itu pedagang pasar modern dipaksa mengikuti aturan-aturan yang diformalkan yang jelas pada kepentingan penumpukkan modal. Padahal pada realitas sosiologis, menunjukkan bahwa sektor informal tidak bisa dipaksakan untuk berubah menjadi formal. Sebab, ia memiliki sub kultur sendiri yang tidak sama dengan logika atau ”keteraturan”. Kalau pemerintah menggunakan paradigma modernisasi, sementara itu para pedagang tradisional bertahan dengan budaya lokal yang jauh dari standardisasi, maka bisa dilihat akan terjadinya konflik diperkotaan.
Hal inilah yang dikatakan oleh HansDieter Evers sebagai perebutan wilayah konsumsi kolektif. Baik pedagang tradisional dengan pemerintah berebut kepemilikan sah lahan-lahan yang bisa dikonsumsi, distribusi secara kolektif itu. Dengan adanya neoliberalisme yang menawarkan materialisme,semua lahan memiliki nilai pertukaran uang.

Tidak heran jika sewa yang lebih mahal, ketika pasar telah berubah menjadi modern. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran kedua pedagang, selain rasionalitas yang sulit ditemukan seperti penjelasan di atas. Hal yang sangat mungkin terjadi mengingat, pengelola bukan lagi pemerintah yang tidak melulu profit oriented, tetapi pengusaha swasta yang benar-benar sedang melakukan bisnis murni. Pemerintah hanya menjadi tuan yang rajin menerima setoran dari para pengembang dan pebisnis itu.

Konflik kepentingan dan Kebakaran Pasar
Konflik paradigma dan kepentingan tersebut tampak jelas, ketika kita apa yang dilakukan pemerintah pada pasar-pasar tradisional terbakar. Kebakaran pasar yang sesungguhnya menciptakan kesengsaraan banyak orang miskin, seakan menjadi fenomena lumrah ketika terjadi di kota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, Sala, Surabaya, Madiun, Purworejo, Wonosobo, Magelang dan kota-kota lain. Kita bisa melihat kepentingan dan kekuatan paradigmatik modernisasi pemerintah pada penanganan pasca kebakaran.
Sekalipun, itu merupakan kewenangan pihak yang berwajib, tetapi pemerintah tidak serius mengusut- tidak mau mengusut siapa pelaku kebakaran tersebut. Catatan penting yang perlu diperhatikan, tidak ada mekanisme tanggap darurat dan ganti rugi yang disiapkan pemerintah bagi korban yang menderita kerugian. Padahal, tanggung jawab pemerintah adalah menciptakan kota yang aman bagi warganya.
Anehnya lagi, selalu saja renovasi pasar pasca kebakaran, membuat harga kios mengikuti ekonomi pasar. Artinya, pedagang yang ingin menempati pasar baru -yang sebenarnya pedagang lama- ketika masuk ke pasar kembali, harus membayar sewa tinggi yang ditawarkan investor. Uniknya, karena pelaksana dan mungkin, penyerta modal yang paling dominan adalah pengusaha, maka sewa yang harus dibayar menjadi mahal. Pada keadaan demikian, negara atau pemerintah begitu perkasa untuk sanggup memaksakan paradigma dan kepentingan yang dipilih sekalipun terjadi resistensi di sana-sini. Tinggal pedagang tradisional gigit jari meratapi kekalahan demi kekalahan. Kalau sudah demikian, manakah pembangunan ekonomi kerakyatan yang selalu digembar-gemborkan itu?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar